Rabu, 04 Februari 2009

Satu waktu Yang Abadi

when you think you've found the place where we belong...

Hujan mulai turun perlahan. Menyentuh tanah bumi dengan suara yang menggema pelan ke seluruh relung hati alam. Menimbulkan getaran yang membuat aku merinding tertahan. Aku berdiri mematung dengan dahi mengernyit. Memandang. Entah apa yang berada di depan sana. Bahkan sekarang aku menjadi tidak mengenalinya lagi. Seorang perempuan yang terus menundukkan kepalanya. Hujan yang mulai turun tidak membuat dia beranjak dari tempatnya. Atau mungkin dia tidak menyadari sentuhan lembut air hujan yang mengenai tubuhnya.

“Kiran..hujan..” Kataku pelan. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu dengan pelan dia mendongakkan kepalanya ke langit.

“Aku selalu ingat. Hujan. Awal dan akhir hujan selalu mengiringi setiap langkah yang kita ambil. Kamu menyadarinya?” Tanya Kiran tanpa menatap aku.

Aku tidak menyadarinya. Aku menggeleng pelan.

Dia menghela nafasnya dengan pelan dan kembali menunduk.

“Awal aku menyadari keberadaan kamu. Saat aku menoleh dan yang aku lihat adalah kamu. Rangga memilih untuk jatuh. Dan aku juga. Berulang kali kembali dan berulang kali juga aku jatuh. Dan akhirnya..aku benar-benar jatuh.”

Aku tahu dan bisa mendengarnya. Suaranya gemetar. Aku ingin mendekatinya dan memeluknya. Tapi aku enggak akan bisa. Enggak akan pernah bisa.

“Aku jatuh. Rasa sayang ini membuat aku mengorbankan segalanya. Kehilangan segalanya. Aku memilih untuk mempertahankan perasaan ini dan melupakan yang lain. Persahabatan, rasa percaya, keinginan, impian, hanya untuk sebuah perasaan yang akhirnya aku pilih.” Ujar Kiran.

“Dia menyayangimu. Tapi sang waktu tidak mengizinkan jalan kalian bertemu. Saat pertemuan dan saat perpisahan yang hanya sebatas benang. Tipis. Dan kalian tidak pernah bisa melewatinya. Bahkan untuk memutus batas itu dan menentang semua yang mungkin terjadi, kalian mundur.” Kataku getir. Hati yang terasa sakit dengan perlahan mematikan rasa setengah tubuhku.

Hujan makin deras turun. Tapi kami tidak beranjak dari tempat kami. Kiran masih menunduk. Tidak menghiraukan apa-apa.

“Dia sendirian. Sejak saat aku melihatnya berdiri menyender di pintu kelas, hari pertama masuk SMP. Aku mendekatinya, menyapanya, walaupun first impression yang benar-benar meng-impress banyak. Tapi kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Dengan siapa kita melaluinya. Dan dalam satu waktu itu. Hanya dalam satu waktu itu..jalan yang kita tempuh sama. Berjalan di jalan yang sama. Tertawa dan sakit bersama. Merasakan hal yang sama. Yang hanya satu waktu itu. Aku tidak ingin menghilangkannya.” Ujar Kiran pelan.

Aku menggigit bibir bawahku. Kenangan yang hanya satu waktu itu, 10 tahun yang lalu. Membuat bahkan aku sendiri tidak akan pernah bisa melupakannya. Tapi seiring perlahan aku menyadari, keberadaan akan Rangga dan segalanya yang mengelilinginya. Senyumnya. Tawanya. Hilang. Perlahan lenyap. Dan saat 5 tahun yang lalu, dia muncul di hadapan kami. Setelah kepergiannya yang tiba-tiba beberapa tahun sebelumnya. Meninggalkan dan melupakan semuanya, dia kembali. Dan tidak ada lagi Rangga. Segala yang menyelimutinya. Dia adalah Rangga yang lain. Rangga yang tahu keberadaan dirinya di dunia. Keinginannya untuk mengetahui semuanya. Sebuah kebenaran yang dia cari. Pilihannya. Kegelapan itu yang dia pilih. Sekuat apapun aku berusaha untuk menariknya. Tidak akan ada kekuatan yang bisa menariknya. Kecuali perempuan yang ada di depan aku sekarang. Kecuali dan tanpa pengecualian. Tidak ada yang bisa menariknya. Bahkan perempuan yang ada di depan aku sekarang.

“Aku enggak bisa menariknya.”

Aku tersentak dari lamunanku mendengar ucapan Kiran dan terdiam.

“Enggak pernah bisa. Sekuat apapun. Jarak antara aku dan dia…aku enggak bisa melewatinya. Seakan di depanku ada sebuah pintu. Aku bisa membukanya tapi yang bisa aku lakukan bukan masuk ke dalamnya. Aku hanya bisa melihat. Tanpa melakukan apa-apa. Untuk pertama kalinya..aku menyerah. Menyerah dengan semua perasaan itu.”

“Aku menyayanginya.”

Aku sakit. Berusaha untuk menutup telinga, mata, hati, pikiran untuk tidak mendengar kalimat itu. Kalimat yang dengan tulus keluar dari mulutnya. Kalimat yang selalu aku katakan padanya. Walaupun aku tahu keberadaan seseorang di dalam hatinya menguasai seluruh hatinya. Rangga telah mencuri hatinya.

“Tapi aku menyerah. Untuk mencintainya. Untuk menyayanginya. Untuk semuanya.”

“Aku tidak pernah bisa menjadi orang yang selalu ada di sisinya di saat dia butuh. Aku mengkhianati kepercayaannya. Aku mengorbankan semuanya demi mempertahankan perasaan ini. Aku tidak pernah bisa menjadi sahabatnya.”

Dia menangis. Aku tahu. Walaupun dia tidak menunjukkannya padaku, tapi aku tahu. Sekali lagi air mata itu bersatu dengan hujan.

“Aku gagal..”

“Dan saat aku mengulurkan tanganku dan berharap ada yang bisa memegangnya, menariknya, membawa aku lari jauh dari semuanya, kamu ada.”

Aku diam. Aku selalu ada di sisi kamu, Ran.

“Aku menyadari keberadaan kamu. Kamu menarik tanganku dan membuat aku berdiri lagi. Kamu menyadarkan aku. Selalu menyadarkan aku akan semuanya. Dan hujan selalu mengiringi setiap langkah yang kamu berikan padaku. Selalu dan selalu.”

Kiran dengan pelan mengangkat tangannya dan menghapus air mata di pipinya.

“Terima kasih. Sampai akhir aku tidak pernah mengucapkannya. Dengan semua yang telah kamu lakukan. Menarik aku untuk bangun. Membuka mata aku. Keberadaan kamu yang begitu penting dalam hidup aku. Mungkin lebih penting dari keberadaan Rangga. Kamu adalah yang terbaik yang pernah aku miliki.”

Aku berjalan mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. Dengan perlahan aku mengucapkannya.

“Aku menyayangimu.”

“Aku menyayangimu, Don.”

Aku tertegun. Terdiam. Kalimat itu terucap dari mulutnya. Untuk aku. Kalimat yang ingin aku dengar. Aku miliki.

“Terima kasih. Kamu tahu Don..orang hidup untuk orang lain dan orang lain hidup untuk orang lain juga. Kamu, keberadaan kamu, akan selalu hidup. Aku ingin hidup untuk kamu. Tapi…”

Hujan itu berhenti. Tiba-tiba alam hening. Seperti ingin mendengar apa yang akan dikatakan. Semilir angin melewati kisi-kisi daun di pohon yang menaungi kami. Daun-daun itu berguguran. Jatuh dengan tenang ke atas tanah bumi. Ke atas gundukan tanah yang berada di depan kami. Kiran dan aku.

Air mata itu kembali mengalir. Sekarang aku bisa melihatnya. Tapi dengan itu aku menyadari, waktuku akan habis. Sang waktu akan mengambil waktuku.

“Tapi..aku tidak bisa. Tidak akan pernah bisa. Kehidupan telah dirampas darimu. Dengan damai. Dengan tenang. Bahkan aku tidak bisa menahannya.”

Kiran menyentuh gundukan tanah itu.

“Aku tidak bisa mempertahankanmu. Karena kamu telah memilih. Dan enggak ada yang bisa aku lakukan.”

Air mata itu semakin deras mengalir. Aku hanya terdiam memandangnya. Sama. Tidak ada yang bisa aku lakukan.

“Tapi aku tahu satu hal.”

Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebatang rokok, rokok kesukaanku, dan menaruhnya di atas gundukan itu.

“Kamu bahagia di sana.”

“Selamat jalan.”

Because maybe you’re gonna be the one who saves me

And after all you’re my wonderwall

Semakin jauh saat aku sadar aku telah terbang. Sang waktu telah menarikku. Saat aku tahu aku tidak akan pernah bisa juga hidup untuknya. Antara kita semua. Sang waktu tidak pernah memberikan kebahagiaan itu untuk sebuah akhir. Hanya satu waktu itu. Sang waktu telah berbaik hati memberikannya. Hanya satu waktu itu. Satu waktu yang abadi itu. Tidak akan ada yang bisa menghapusnya.

Tidak ada komentar: